Kudeta
Belakangan ini sejumlah elemen, (mungkin juga?) termasuk
petugas keamanan terganggu dengan ‘berita’ aksi makar yang (bisa mungkin) akan menyusup
di antara ramainya tuntutan kasus Ahok. Pada demonstrasi-demonstrasi ke depan,
bisa mungkin temanya mengarah pada aksi makar. Setidaknya, demo yang
direncanakan pada 2 Desember ini, bukan tidak mungkin aksi makar menyusup di
antara riuh-rendahnya tuntutan demonstran, yang kadang tak terkendali. Meskipun
himbauan beberapa tokoh untuk melakukan aksi damai, tapi kesempatan itu bisa
saja digunakan oleh pihak-pihak yang tidak penting mendengarkan himbauan itu. Maka,
kemungkinan dari tesis di atas tidak bisa dianggap enteng atau angin lalu saja.
Kata ‘makar’ sebenarnya satu famili dengan ‘kudeta’.
Usianya lebih tua makar, atau makar lahir lebih dulu kemudian menyusul kudeta.
Tapi lebih disegani kata ‘kudeta’. Makar masih satu tingkat di bawah kudeta.
Sebab, usaha makar adalah usaha untuk menggapai kudeta. Kudeta sebenarnya dari
kata Prancis, asal kata coup d'État yang disingkat coup. Memiliki arti, meruntuhkan
legitimasi. Arti yang agak bebas, pengambilalihan kekuasaan secara ilegal. Namun
definisi yang lebih bebas dan ekstrim adalah pengambilalihan kekuasaan yang
belum waktunya berakhir.
Jika definisi terakhir yang kita sepakati,
maka kudeta kekuasaan di Indonesia lumayan berderet. Misalnya, kudeta pada
Soekarno oleh rakyat yang belum waktunya meletakkan kekuasaan, kudeta pada
Suharto oleh mahasiswa yang masih beberapa bulan menjabat sebagai presiden
untuk priode yang kesekian, kudeta pada Habibie oleh DPR, dan kudeta pada Gus
Dur oleh MPR. Mereka ‘dipaksa’ berhenti, meskipun belum waktunya. Terlepas dari
alasan kudeta tadi, misalnya Soekarno yang sudah didesak oleh demonstran
se-tanah air, Suharto yang didemon oleh mahasiswa dan rakyat, Habibie yang
laporan pertanggungnjawabannya ditolak oleh DPR, dan Gus Dur yang dikudeta MPR
dengan alasan Brunei Gate.
Dalam ilmu sosial-politik, kasus di atas
dikenal dengan nama Kudeta Veto, yaitu
perebutan kekuasaan yang dilakukan
melalui partisipasi dan mobilisasi sosial dari sekelompok massa rakyat dengan melakukan penekanan
berskala besar yang berbasis luas pada oposisi sipil. Pergerakan
massa disebabkan berbagai hal, namun yang paling sering disebabkan oleh
kegagalan tatanan ekonomi, yang menyebabkan rakyat mudah dihasut. Dalam teori
ini, Soekarno dan Soeharto masuk di dalamnya, sebab mereka dipaksa mundur oleh
massa rakyat awam yang membaur dengan mahasiswa dan pelajar. Perlu diingat, kudeta terhadap kekuasaan
tidak akan berjalan mulus jika tidak didukung oleh kekuatan bersenjata.
Misalnya, Soekarno atau Soeharto tidak akan bisa ‘terdesak’ jika TNI/Polri mau
membendung gerakan massa itu.
Sekali lagi perlu diingat, jika kudeta
didefinisi sebagai pengambilalihan kekuasaan sebelum waktunya berakhir, maka: “Rencana
kudeta paling anyar menimpa Ketua DPR
RI,” Sakerah membuka diskusi. Kudeta dalam diskusi ini didefinisikan sebagai
pengambilalihan kekuasaan yang belum waktunya. Terlepas dari legal formal,
karena undang-undang mengatur tentang itu, atau apa pun namanya. “Setya Novanto, ‘dipaksa’ oleh
partainya untuk menjadi Ketua DPR kembali. Padahal, Ade Kamarudin juga dari
partai yang sama.”
“Padahal Setya Novanto tidak dikudeta ya?”
Komat heran. “Beliau berhenti jadi Ketua DPR tidak ada yang memberhentikan.
Tapi mengundurkan diri,” tambahnya semakin heran. Maka, atas nama
undang-undang, partai yang menaungi Setya Novanto berkeinginan mendudukkan
kembali menjadi Ketua DPR. Alasannya sederhana, demi kewibawaan partai.
Anggota diskusi paham, bahwa pengunduran diri
Setya Novanto dari jabatannya sebagai Ketua DPR RI itu karena terlibat, atau
bahkan sebagai aktor, yang meminta bagian saham Freefort. “Bagaimana menurutmu
melihat kasus seperti ini, Cong?”
tanya Sakerah kepada Kamit, yang sejak tadi tidak banyak berkomentar, meski ia
mencermati pendapat rekan-rekannya.
“Orang Indonesia miskin rasa malu.” Kalimat itu
yang keluar dari mulut Kamit. Sayangnya, ia tidak menjelaskan lebih detil maksud
kalimatnya.
Namun, jika definisi kudeta merupakan
pengambilalihan kekuasaan dengan cara ilegal, dalam sejarah bangsa Indonesia
tidak pernah terjadi kudeta. Kejahatan perang yang dilakukan Raymound Westerling
dengan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil)-nya pada tahun 1950 tidak termasuk
kudeta, sebab Westerling adalah Tentara KNIL, yang tidak masuk ke dalam bagian
TNI. Sedangkan pelepasan kekuasaan Soekarno yang pada awalnya dengan
Supersemar, menjadi legal-formal. Soeharto mengantongi Supersemar dari Presiden
kala itu. Dalam administrasi negara, Supersemar legal-formal karena merupakan
perintah dari Presiden Soekarno. Pemaksaan Soeharto melepaskan jabatannya
sebagai presiden yang karena kuatnya desakan demonstran, juga legal-formal. Soeharto
memngundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden. Penaifan Presiden Habibie
dengan cara menolak laporan pertanggungnjawabannya oleh DPR, yang membuat ia
‘dilarang’ mencalonkan menjadi presiden, juga legal-formal. Pemaksaan MPR
terhadap Gus Dur yang diberhentikan dari jabatannya juga legal-formal.
Maka, jelas Pak Sakerah, pemaksaan Ade
Kamarudin agar segera menyerahkan jabatannya kepada Setya Novanto juga
legal-formal. Meskipun Ade Kamarudin mendapatkan jabatan ketua ketika ditinggal
Setya Novanto juga legal-formal. Dan Setya Novanto mundur dari jabatannya juga
legal-formal. “Lalu, siapa yang salah dalam cerita ini?” Pak Sakerah mengajukan
pertanyaan pada sidang diskusi saat itu.
“Kita harus merevisi undang-undang tentang
itu,” Komat berkata getir.
“Apa maksudmu?”
“Pasal tentang ‘demi kewibawaan partai’ harus
dimasukkan pada undang-undang yang baru.”
Mereka melongo.
“Bagaimana dengan maraknya issu makar, yang
tentu akan berujung kudeta?” Kamit mengalihkan pembicaraan.
“Itu sih, Panglima yang lebih tahu.”
Em Saidi Dahlan – 28112016
0 comments:
Posting Komentar