Dua
Desember
Awal pekan bulan depan, tepatnya 2 Desember 2016,
bertepatan dengan hari Jumat Legi, 2 Rabi’ul Awal, 10 hari sebelum perayaan
Maulid Nabi Muhammad, akan digelar demonstrasi besar-besaran tahap ketiga.
Sebuah fenomena ‘konstelasi politik’ atau ‘kesembrautan hukum’ atau mungkin
‘kecemburuan’ dari berbagai sisi oleh berbagai pihak, atau transisional
persoalan bangsa ini menuju ‘sempurna’, yang dalam hal ini, menggemparkan tanah
air. Sebagian dari ratusan juta umat Islam Indonesia akan berkumpul di Jakarta
dengan start Masjid Istiqlal.
“Ini perlu kita diskusikan. Perlukah kita berangkat
berunjuk rasa, berame-rame ke Jakarta?” Pak Sakerah membuka percakapan. “Sebab,
hari itu Jumat. Apakah Istiqlal akan muat menampung jutaan umat Islam yang dari
berbagai penjuru tanah air?”
Tentu, kedua rekannya tidak bisa menjawab
kegundahgulanaan Pak Sakerah. Mereka sadar, ini bukan masalah yang sederhana.
Juga bukan masalah yang bertaraf lokal. Tapi, menurut Komat dan Kamit,
membutuhkan kajian yang ‘ilmiah populer’—artinya, tidak serius amat, namun
bukan berarti enteng. Maka, ini perlu diagendakan dalam bahtsul Masail tingkat tinggi, begitu kira-kira kesimpulan ‘tiga
serangkai’ itu.
Persoalan ‘kepleset’ lidah yang dilakukan Ahok,
rasanya melahirkan banyak persoalan, dan sederet akibat baik dan buruk yang
menyeret orang-orang waras ikut gila, meskipun di balik itu, Ahok telah
memotivasi banyak orang (Islam) belajar atau setidaknya membaca kembali Alquran
yang sudah lama dilupakan. Kira-kira, itu sebuah pengantar yang disampaikan Pak
Sakerah, tokoh fenomenal, yang dalam waktu tidak lama telah mengumpulkan sekian
tokoh dan pakar lain. Misalnya, Pak Sakerah telah mengundang kiai-kiai muda
yang biasa ngaji tafsir al-Jalalain,
al-Munir, dan seterusnya. Juga ada politikus lokal lulusan Al-Azhar yang gagal
jadi anggota parlemen karena gambarnya tidak banyak bergantungan di pohon asam.
Juga ahli bahasa, pakar komunikasi, pakar waktu dan seorang alim ilmu fiqh.
Kesimpulan dari Bahtsul
Masail dadakan yang digagas tokoh fenomenal itu adalah: Pertama, orang Madura, terutama
laki-lakinya tidak wajib hukumnya—malah jika tidak diperdebatkan menjadi
‘dilarang’—datang ke Jakarta. “Alasannya, masjid akan kosong. Maka sebutan
Pulau Sejuta Masjid akan hilang mendadak, dalam sehari itu: pada dua Rabi’ul
Awal,” kata Pak Sakerah membacakan hasil Bahtsul
Masail-nya.
“Ini masuk akal,” kata Komat, “Apa Masjid pada pelaksanaan
shalat Jumat akan diisi kaum wanita semua? Apa sah shalat Jumatnya? Apa kita
akan mengubah fiqh?”
Tapi jangan lupa, simpulannya: datang ke Jakarta
boleh-boleh saja asal masjid tidak sampai kosong pada pelaksanaan shalat Jumat.
Hanya saja, sahabat-sahabat kita, kaum Muslim di Madura, akan terasa sulit
mencacah siapa yang harus datang ke Jakarta, dan siapa saja yang menjaga masjid
di tempat masing-masing. Maka, Takmir Masjid punya tugas baru, mengangkat Bung
Cacah Jumat yang tugasnya mendata siapa saja yang tidak ke Jakarta. Jika yang
tetap tinggal di rumah mengurangi syarat jumlah jemaah Jumat, tentu perlu
dipikir ulang. Sebab masjid tidak boleh kosong, dan shalat Jumat malah libur.
Kedua, jika kedatangan umat Muslim ke Jakarta hanya untuk mendesak
Polri agar segera menahan Ahok, yang menang malah Ahok sendiri. “Lo, kok bisa?”
tanya Kamit.
Sebab, kata Pak Sakerah dalam penjelasannya, nama Ahok
semakin melambung. Masa, hanya untuk menahan Ahok saja harus menurunkan umat
Islam sampai ratusan ribu orang, ke Jakarta lagi. Ahok itu tidak setara dengan
Pak Harto, yang ketika mendesak tokoh Orde Baru itu, memang dibutuhkan desakan
yang begitu kuat, dan demo ‘harus’ terjadi dimana-mana. Misalnya nanti Ahok
ditahan oleh karena desakan umat Islam, namanya semakin besar dan melambung.
“Semakin besar kepala dia,” kata Pak Komat menambahi. Sekeluar dia (Ahok
maksudnya) dari tahanan, dia akan menjadi tokoh penting, calon pemimpin masa
depan yang harus diperhitungkan.
Ketiga, menghimbau kepada umat Islam yang datang ke Jakarta
untuk tetap menjaga aksi damainya. Dunia, menurut simpulan Pak Sakerah, akan
terus melihat, sejauhmana umat Islam menjaga nilai-nilai luhur agamanya.
Menurut Islam, dalam perang pun, pasukan Islam dilarang menganiaya—apalagi
membunuh—anak-anak dan perempuan, dilarang merusak tyanaman, dilarang merusak
fasilitas umum. “Islam itu rahmatal lil ‘alamain,”
begitu Pak Komat berkomentar.
“Demonstrasi pada 4 Nopember lalu, atau unjuk rasa
sebelumnya, umat Islam benar-benar tertib, dan berlangsung damai. Ini perlu
dipertahankan. Bukan hanya di Jakarta, juga umat Islam yang melakukan demo di
daerah-daerah, harus menjaga kedamaian,” jelas Pak Sakerah.
Keempat, ikut mengawasi proses hukum Ahok agar tidak (malah)
melebar kemana-mana. “Maksudnya, bagaimana?” serentak pendengar itu bertanya.
Mereka tidak paham arah penjelasan Pak Sakerah. Dalam Bahtsul Masail itu diputuskan agar Polri fokus dalam penyidikannya.
Padahal Anda tentu paham, dalam sebuah kasus akan terkait kasus lain yang
menyertainya. “Lo, kok bisa?” Komat heran.
“Sekadar tahu saja ya,” kata Pak Sakerah memulai
penjelasannya. “Polri tadi malam menaikkan status Buni Yani, si pengaploud
pidato Ahok itu, menjadi tersangka. Artinya, status Buni Yani itu setara dengan
Ahok yang sama-sama tersangka. Hanya saja, ‘sangkaan’ hukumnya berbeda. Kalau
Ahok disangkakan sebagai penista agama, sedangkan Yani itu karena komentarnya
sendiri di Akun miliknya...”
“Ini yang menarik broo,” teriak Kamit tertahan. Pak
Sakerah heran. “Ini bisa dijadikan taruhan. Kita dapat dua sekaligus, menjadi
pengamat sekaligus bandar taruhan,” sambil tersenyum Kamit mengangkat
jempolnya. Sebuah pemandangan yang tidak lucu, tapi menggemaskan.
“Apa maksudmu?”
“Lebih dulu mana yang ditahan: Ahok apa Buni Yani?”
katanya singkat.
Kelima, masyarakat harus tahu, Buni Yani telah berjasa
‘memberitahu’ pidato Ahok kepada khalayak, khususnya umat Islam. Jika tangan
Buni Yani tidak ‘nakal’, mata kita tidak akan pernah terbuka bahwa di sebelah
sana telah terjadi penistaan agama. “Kita berhutang jasa kepada Yani,” begitu
Pak Sakerah berkata.
“Lalu?”
“Kita harus mengawal perjalanan hukum yang dituduhkan
kepadanya,” Pak Sakerah dengan sikap getir berujar.
“Apa yang bisa kita lakukan?” Komat ingin tahu.
“Negeri ini tidak diperintah oleh Pemerintah yang dlolim. Semoga sampai akhir zaman,” Pak
Sakerah berkata datar. Mereka mencermati setiap kata yang keluar dari mulut Pak
Sakerah.
Di Pemerintahan yang dlolim, kata Pak Sakerah memulai kisahnya sambil menatap
pendengarnya, ada tiga ciri karakter masyarakatnya. Ciri itu adalah: pintar,
jujur dan pendukung raja (Pemerintah). Setiap orang hanya mempunyai dua ciri
dari tiga ciri yang ada. “Jika kamu pintar dan jujur, pasti tidak mendukung
raja. Dan jika kamu pintar dan pendukung raja, pasti kamu pembohong. Juga, jika
kamu seorang yang jujur dan pendukung raja, pastilah kamu ini orang bodoh.”
“Bingung aku,” sahut Komat dan Kamit bersamaan. “Masuk
yang manakah kita?” sambung Komat.
“Apa hubungannya dengan dua Desember?” yang lain
menimpali.
Pak Sakerah terkekeh mendengar pertanyaan sahabatnya
yang lugu. “Kamu punya otak atuh gak
pernah dipake…”
Em Saidi
Dahlan, Sumenep-26112016
0 comments:
Posting Komentar