Ahok (Ternyata) Orang
Madura
Warga di Kampung Pacinan, sebuah kampung kecil yang
berdekatan dengan Kampung Pakotan, Desa Pasongsongan, Sumenep geger.
Gara-garanya, Kong Haielon, sesepuh di kampung itu mengeluarkan maklumat
singkat: “Basuki Tjahaja Purnama, yang kalian kenal dengan nama Ahok, yang
membuat geger warga muslim Indonesia, yang kemarin lalu didemo sampai ke Istana
Negara, yang kalian selalu melihat wajahnya di tivi-tivi, yang bicaranya
ceplas-ceplos, adalah orang Madura”.
Persoalannya menjadi luar biasa, meski hanya dari
seorang Kong Haeilon ketika maklumat itu dianggap shahih. Memang hanya sederet maklumat sederhana, tetapi
persoalannya menjadi ‘kalang-kabut’ orang Madura, sebagaimana Ahok yang ‘hanya’
nyentil Alquran surat Almaidah, dan
menjadi bumerang bagi karier politik Ahok. Bukan karena maklumat sederhana itu
disiarkan di loudsepeaker milik Kong
Heilon—ia memang orang satu-satunya yang mempunyai alat siar yang bernama loudspeaker. Tetapi, maklumat singkat
itu sudah merasuk ke hati bahkan menjalar ke ubun-ubun masyarakat Madura, wabil khusus warga Pacinan. Sebegitu garangkah
orang Madura?
Maka berdatanganlah kiai-kiai salaf ke rumah Ah-Kong itu untuk mengklarifikasi maklumatnya. Ada
Kiai Rahwini, kiai yang tidak pernah bersentuhan dengan percaturan politik. Ada
Kiai Ahmad Dahlan, kiai kampung yang suka sarungan.
Ada Kiai Abdul Hamid, mantan penghulu yang terkenal dengan kesalehannya. Ada
Kiai Ahmad Syarqawi yang dikenal alim di bidang fiqh. Juga Kiai Bahrudin yang
dikenal dengan ilmu kalamnya. Termasuk kiai-kiai muda ikut mendampingi mereka.
Dan yang perlu diingat, Pak Sakerah, seorang tokoh Madura yang mewakili
berbagai disiplin komunikasi ikut serta di dalamnya. Malah, tokoh fenomenal
Madura itu didapuk menjadi juru bicara di rumah Ah-Kong.
“Apa benar maklumat Ah-Kong itu?” begitu kalimat
pembuka klarifikasi kedua pihak di rumah Kong Haeilon. “Sebab,” kata Pak
Sakerah melanjutkan, “Setahu kami, tidak seorang pun warga pribumi Madura
beragama selain Islam. Tidak seorang pun orang Madura yang tidak mengenal tahlil, tahmid, dan wiridan. Tidak seorang pun orang Madura yang tidak mengenal marhabanan, hadrah, dan kidung shalawatan. Kami terkejut, sebab
tiba-tiba Ahok yang menjadi tokoh terhujat saat ini didapuk, atau memang
sebagai, orang atau warga Madura. Benarkah itu Ah-Kong?”
Mendengar pertanyaan semacam itu, Kong Heilon
terkekeh-kekeh, dan sebagaimana biasanya sebelum bicara ia berkata, “Hayya,
apalagi yang hendak ditanyakan Kiai-kiai ini hingga repot-repot bertamu ke
rumah kami?”
Satu per satu dari mereka mulai berkomentar. Intinya:
mereka tidak setuju jika (kira-kira) Ahok didapuk atau setidaknya dijadikan
warga kehormatan Madura. Mereka tidak setuju jika ada orang Madura yang
menghujat atau setidaknya menista Alquran. Mereka tidak mau mendoakan
keselamatan akhiratnya jika ada orang Madura yang tiba-tiba memeluk agama lain,
selain Islam. Lalu, bagaimana jika Ahok memang benar-benar orang Madura? Sebab,
kata Kiai Rahwini, mengaku-aku kekerabatan pada urutan nisab, hukumnya haram. Kiai
Rahwini mengajukan dasar dari kitab Sullamut-Taufiq
yang melarang pengakuan nisab kekerabatan. Akhirnya, mereka terlibat debat
di antara mereka di depan Kong Haeilon. Sementara, Ah-Kong hanya bisa terkekeh,
lalu berujar, “Hayya!”
Pak Sakerah merasa perlu menghentikan debat para kiai
itu di depan Kong Haeilon. Lalu buru-buru ia berujar kepada Kong Heilon, “Mohon
klarifikasi Ah-Kong!”
Kong Haeilon memperbaiki posisi duduknya, lalu ia
berkata, “Maklumatku, tidak ada maksud sedikit pun untuk menista Suku Madura. Coba
kalimat saya cermati secara seksama, dan jangan dipotong. Ini kalimat asli dari
saya, sedangkan yang kalian tonton di You Tube itu sudah ada yang ngedit. Saya tidak pernah meminta
seseorang untuk mengunggah ke You Tube. Saya hanya menyiarkan lewat media
komunikasi saya, dan tidak juga menggunakan loudspeaker
milik masjid atau mushola,” Kong Haeilon berapi-api menjelaskan. “Hayya, jika orang terganggu dengan saya
punya maklumat, salah sendiri mendengarkan mereka punya telinga.”
Piuss, para kiai tersentak kaget dengan kalimat
terakhir Ah-Kong tadi. Ada kecongkaan pada diri Ah-Kong, dan ia tidak
menghormati hak-hak orang lain, pikir tamu-tamu Kong Haeilon itu. “Apa sampean
tidak terganggu kalau saya memukul bel gereja keras-keras di dekat daun telinga
sampean?” seorang dari mereka agak geram.
Sayangnya, Ah-Kong itu hanya tersenyum tipis, tidak terlalu
mempedulikan.
“Apa benar Ahok orang Madura, Ah-Kong?” Pak Sakerah
mengulang klarifikasinya. Maksud Pak Sakerah agar pertemuan saat itu tidak
melenceng dari tujuan awalnya.
“Iya,” jawab Kong Haeilon tegas.
“Dari mana sampean berkesimpulan seperti itu?”
“Orang mengenal orang lain pertama dari tubuh, lalu
gaya bicaranya, lalu rasa kemanusiaannya, lalu cita-citanya, lalu pengakuannya.
Jika unsur-unsur itu terpenuhi maka seratus persen orang itu benar. Jika unsur-unsur
itu tidak lengkap prosentasenya dikurangi. Itu saja,” kata Kong haeilon.
Pada intinya penjelasan Kong Haeilon begini: wajah
Ahok tidak jauh beda dengan Sam Tua Lang, Komandan Pasukan Tartar yang
bertempur melawan Jokotole. Ia dikalahkan oleh Jokotole, dan sisa-sisa pasukan
Tartar menetap di Pasongsongan. Dari garis keturunan itulah nisab kekerabatan
Ahok. Hanya saja, buyut Ahok pindah ke Belitung dan memeluk Kristen, sedangkan
peranakan Cina di Pasongsongan memeluk Islam. Bahkan banyak di antara mereka
memiliki sebutan ‘Ki’ sejak berguru ke Sunan Ampel Surabaya. Dari silsilah ini,
Kong Haeilon tidak ragu mengatakan Ahok sebagai orang Madura.
Sedangkan gaya bicara Ahok, menurut Kong Haeilon tidak
jauh beda dengan kebanyakan orang Madura. Orang Madura dikenal tegas, lugas dan
tidak setengah-setengah dalam mengambil keputusan. Suku Madura dikenal dengan
filsafat “Mon ba’na bagus pabagas, mon
sogi pasoga’, mon kerras akerres”. Artinya, jika Anda baik maka jujurlah,
jika kaya membantulah, dan jika keras maka berilmulah. Dan tentu, karena
filosofi semacam itulah yang membuat orang Madura terkenal tegas dalam
mengambil keputusan. Apa yang mereka katakan, itulah keadaan hati yang sesungguhnya.
Juga rasa kemanusiaan dan cita-citanya, yang menurut Kong Haeilon tidak jauh
beda dengan Ahok. “Hanya sayangnya, Ahok kadang omongannya sembarangan, ngawur
dan ndak karuan,” begitu Kong Haeilon
mengakhiri penjelasannya.
“Hanya karena itu Ah-Kong menganggap Ahok asli orang
Madura?” tanya Pak Sakerah dengan nada meninggi. “Ahok yang tetap Chaines, Kong!”
“Siapa bilang Ahok asli orang Madura? Saya hanya
bilang, Ahok orang Madura, itu karena kerabatnya sudah lama di Madura. Orang Madura
kan tidak harus buyutnya Madura? Dan orang Madura juga tidak harus tinggal di
Madura? Makanya, jika dalam satu deret kalimat ada kata yang hilang atau
bertambah, makanya bisa berubah,” Kong Haeilon menampik.
“Jadi?”
“Ahok tidak seratus persen orang Madura. Toch bisa
dikurangi menjadi sekian persen, karena tidak memenuhi semua unsur yang saya
jelaskan tadi.”
Pak Sakerah sedikit geram. Giginya bergeratak, menahan
marah. Ia ingin memarahi Kong Haeilon, tapi ia sungkan pada kiai-kiai yang
hadir dalam pertemuan itu. “Sok!” hanya itu yang keluar dari mulut Pak Sakerah.
Kong Haeilon menangkap ketidaksukaan Pak Sakerah. Lalu
ia berkata, “Jangan dikira loh orang Cina tidak berjasa terhadap negeri ini.
Anda tahu, arsitektur Masjid Agung Sumenep dengan gaya Cina-Eropa itu adalah
Lauw Pia Ngo, cucu Lauw Kate. Arsiteknya itu masih Ah-Kong-ku, keturunan Tartar-Mongolia.
Juga Keraton dan Taman Pemandian Puteri Sumenep. Termasuk Pemakaman Raja-raja
Sumenep. Lihat saja gaya arsitekturnya.”
“Jadi Ahok itu orang Madura?” tanya Pak Sakerah tanpa
mempedulikan penjelasan Kong Haeilon.
“Tidak.”
“Lalu?”
“Asli orang Madura itu kamu…”
“Ha?” Piyur.. Buyar lamunan Pak Sakerah. Ternyata kiai-kiai
itu tidak di sampingnya. (Em Saidi Dahlan, endydahlan@ymail.com 06112016)
0 comments:
Posting Komentar