Pernyataan Syafti Hidayat tentang Teten Masduki Bukan Sikap Resmi BaraJP

JAKARTA – Pernyataan Syafti Hidayat tentang Kepala Staf Presiden (KSP) Teten Masduki, yang dimuat di beberapa media bukan sikap resmi Barisan Relawan Jokowi Presiden (BaraJP). Sebagaimana diberitakan pers Kamis (12/11), Syafti membuat pernyataan seakan-akan mewakili BaraJP untuk menyerang Teten Masduki.
“Syafti Hidayat memang salah seorang pendiri BaraJP. Namun ada aturan internal organisasi, opini ke luar, harus kesepakatan pengurus. Jadi pernyataan Syafti adalah sikap pribadi,” tegas Ketua Umum BaraJP, Sihol Manullang, di Jakarta Jumat (13/11).
Sihol mengatakan, penilaian Syafti Hidayat justru berbeda dengan penilaian BaraJP. Teten Masduki yang mengawali reputasi sebagai aktivis melalui Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Bandung (1983), betul-betul menghayati penyebab ketertindasan rakyat kecil.
“Sebagai aktivis yang merangkak dari bawah, dari GMNI ke Third World Net Work, kemudian ke Devisi Perburuhan YLBHI, lalu mendirikan Indonesia Corruption Watch (ICW), ‘memperbaiki sesuatu’ sudah menjadi darah daging Teten, sehingga harus didukung,” tambah Yayong Waryono, Sekjen Barisan Relawan Jalan Perubahan (BaraJP).
“Beban bagaimana melaksanakan Nawacita juga ada di pundak Teten. Namun harus dipahami pula, pernyataan dia sebagai KSP tidak selalu seperti yang dibayangkan publik. Tugas sebagai KSP memaksanya untuk tidak mengungkapkan semua informasi,” ujar Sihol.
BaraJP yang lahir 15 Juni 2013, merupakan organisasi pertama yang mencalonkan Jokowi. BaraJP sengaja memilih tempat deklarasi di Bandung, di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), tempat Bung Karno diadili Hindia Belanda tahun 1930.
Pada bagian lain, Sihol mengatakan, media massa hendaknya lebih selektif dalam memuat pernyataan yang mengatasnamakan organisasi. Semestinya ada cross check ke organisasi bersangkutan, apakah memang mengeluarkan pernyataan tertentu apalagi yang menyerang pejabat negara.
“Jika media di Indonesia tidak cross check dan asal main muat saja pernyataan tanpa klarifikasi, maka negeri ini akan menjadi arena hujat-menghujat, orang dengan mudah memanfaatkan media nasional sebagai medium hate speech,” kata Sihol, mantan wartawan Suara Pembaruan 1985-2000. ***

0 comments:

Posting Komentar