Kurikulum Gonjang Ganjing
Catatan Em Saidi Dahlan
Semestinya,
dalam berbagai teori, kurikulum itu direview paling cepat dalam satu dasa
warsa, atau sepuluh tahunan. Jika kurang dari satu dasa warsa, tentu
tidak efektif. Bayangkan, suatu kebijakan yang 'menasional' akan sampai
ke daerah pelosok terpencil membutuhkan waktu yang tidak singkat.
Informasi ke daerah plus implementasinya tidak setahun bisa deal.
Apalagi tidak sekadar perubahan kurikulum, tapi harus menyesuaikan
kemampun SDM, dari sekedar menginformasikan, melatih dan tetek bengek
lainnya.
"Sekarang," kata Pak Sakerah kepada shohib-nya,
"orang-orang di Jakarta yang sibuk. Apa tetap K-06 atau K-13. Itu
masih ditimbang-timbang. Belakangan Bang Anies Baswedan memutuskan
begini: Anies lebih memilih kembali ke K-06, sedangkan sebagian sisanya
yang sudah kadung ikut beragam macam pelatihan itu pancet menggunakan K-13."
Pak
Kamit diam. Ia membayangkan kemenakannya yang guru SD. Betapa ia, si
kemanakan tadi, sibuk. Sibuk untuk memilih, apa tetap di K-13 atau
kembali ke K-06. Bang Anies, pikir Pak Kamit, tidak menyertakan alasan
rinci terkait keputusannya itu. Tim pengkaji pun merasa tidak
independen ketika menghadapi Bang Anies. Meskipun usianya masih jauh
lebih 'bau kencur' dari pada Prof. Suyanto, tapi tim itu harus tunduk.
Bang Anies itu menteri yang menangani lembaga yang mengurus adab-budaya
dan pengajaran. Bang Anies, meskipun masih ennom, tapi bisa
memecat Suyanto yang sudah guru besar itu dengan cara mengusulkan ke
Pak Jokowi. Jika ini persoalannya, jangan tanya mana yang independen dan
dependen.
Pak
Nuh, yang jauh lebih senior dari pada Bang Anies—baik sebagai menteri
ataupun dari segi usianya—uring-uringan. Kurikulum rancangannya
tiba-tiba di-delet dari peredaran. Kira-kira kalau Pak Nuh misu akan berkata begini: "Coba dulu leh, baru berkomentar baik atau tidaknya K-13. Mentang-mentang dikau jadi menteri yang gak ada pekerjaan, tiba-tiba men-delet kurikulum
yang sudah aku proklamirkan seantero dunia. Padahal kalau mau kerja,
sebagaimana slogan Pak Presiden yang 'kerja-kerja-kerja' tanya aku saja
yang sudah lebih dulu jadi menteri. Pengadaan buku yang belum tuntas
itu juga pekerjaan leh. Pemerataan informasi yang belum tuntas kepada
semua insan pendidik, itu juga pekerjaan leh. Kamu kok aneh-aneh, takut
gak dapat pujian Pak Jokowi."—mohon maaf Pak Nuh, mantan Mendikbud era SBY belum sempat mengatakan semua ini.
Kira-kira
Bang Anies akan membalas begini: "Itu urusanku, bukan urusanmu. Apa
aku tidak ingin juga mendapat pujian? Lagi pula, K-13 itu belum siap.
Anggarannya terlampau besar. Padahal Presiden sekarang memangkas semua
jenis anggaran. Anggaran sekarang difokuskan pada pembangunan fisik.
Revolusi mental itu hanya slogan. Kamu tahu apa soal perkembangan
politik terkini. Tidur sajalah Pak Mantan Menteri, agar diabetmu gak kumat."—sekalil lagi mohon maaf, Pak Menteri Anies Baswedan belum membalas pisuan-nya Pak Nuh.
Pak Sakerah terkekeh sendiri membayangkan pertengkaran kecil kedua orang besar itu. Tapi kemudian tawanya terhenti ketika shohib-nya, Pak Komat bertanya. "Apa nama kurikulum yangs ekarang ini, Pak Sakerah?"
Pak Sakerah clingak-clinguk, diam sesaat. Lalu katanya, "Kurikulum sekarang bernama Kurikulum Gonjang-ganjing!"
"Ha?" mereka tersentak. Lalu diam untuk beberapa saat.
Em Saidi Dahlan (09/12/2014) e-mail: endydahlan@ymail.com - refadelisa@yahoo.com
0 comments:
Posting Komentar